Curhatan Pikiran

Renungan untuk “Ayah dan Ibu”

April 14, 2012

Hari ini banyak saya habiskan di depan layar Fujitsu saya, dengan koneksi yang pas-pasan alias limit akhirnya saya putuskan untuk mengudak udak page Facebook saya mulai dari awal saya join sampai saat-saat menjadi remaja galau, hahaha

Dan akhirnya saya menemukan sebuah coment luar biasa dari seorang teman bernama Irfan Sudrajat Subroto, dalam salah satu note yang saya tulis untuk Ayahku. Saya ingat betul dulu saya sempat menangis setelah membaca coment ini, dan sekarang pun saya masih tetap menangis ternyata. Karena hal itulah saya putuskan untuk memuat penuh semua coment itu dalam postingan saya kali ini, dan semoga ini bisa jadi insprirasi untuk kita semua 🙂
Nah berikut coment lengkap itu, Selamat memnikmati

Coba bayangkan situasi ini:
50 tahun yang lalu Ibu dan Bapakmu menikah, tak berapa lama mereka tinggal seatap. Suasana rumah yang cuma diiisi oleh 2 insan begitu indah pada awalnya. Tapi lama lama mereka bosan juga, tiap hari cuma liat orang yang sama, mereka butuh sesuatu perekat yang bisa membuat rumah menjadi lebih berwarna. Sehingga ‘dibuatlah’ kamu, hehe bosok bahasane.

Tak lama lahirlah kau di dunia ini, tak terbayangkan begitu bahagianya mereka. Mereka akan selalu mengamatimu disetiap perkembanganmu. Saat kau bisa mengucapkan kata pertama kali mereka pasti bakal cerita ke tetangga, saat bisa menulis, saat masuk sekolah, saat masuk perguruan tinggi. Walaupun kamu nakal (mungkin), sering merepotkan, tapi begitu melihat wajahmu yang lugu mereka bakal trenyuh “Bagaimanapun kau adalah anakku”, begitu kata mereka. Kamulah yang membuat suasana rumah yang dulu sepi menjadi hingar bingar dipenuhi keceriaan tawamu, tangismu dan rengekmu.

Kau adalah satu satunya perhiasan mereka. Apapun kebutuhanmu, sekuat tenaga mereka mewujudkannya. Mereka rela kedinginan asal putranya tidur hangat dan siap menyambut esok dengan senyum dan semangat. Mereka rela mengorbankan apa yang mereka punya demi impianmu.

Tiba saatnya si anak dewasa, kau sudah tak perlu lagi dukungan semangat dan fisik dari mereka, kau mungkin tinggal di luar kota. Menempuh ilmu, mencoba menggapai cita cita. Kau bisa bayangkan bagaimana sepinya rumah saat ini? Tak ada lagi rengekmu dan tangismu.Tapi mereka masih bisa senang dan trenyuh karena kau masih butuh mereka. Tiap bulan kau telpon mereka, mungkin setiap setahun waktu lebaran kau pulang. bisa kau bayangkan bagaimana senangnya mereka mendengar suaramu, melihat wajahmu lagi setelah beberapa waktu kau tidak menghiasi rumah mereka? Walaupun kau mungkin pulang atau telpon ‘hanya’ untuk meminta uang sewa kos dan SKS kuliah.

Lalu tak lama, sebentar setelahnya kau sudah bisa hidup sendiri. Bangganya tak terkira orang tuamu kini, sekaligus sedih bahwa mungkin mereka sudah tak kau butuhkan secara finansial. Tapi bukankah selama ini kau menghubungi mereka jika terdesak masalah ini? Bukankah selama ini kau mengabari mereka jika kau kekurangan dalam masalah ini? Pernahkah selama ini kau menanyakan “Sudah makan belum?”, “Sudah sholat belum?” , “Selamat tidur, mimpi indah!!” kepada orang tuamu? Kalimat yang sering kau ucapkan pada temanmu yang labil, yang kau anggap bakal menjadi pasanganmu padahal tidak. Kembali ke topik, kau sekarang sudah mampu memenuhi kebutuhannmu, akses kepada orang tuamu menjadi berkurang, betapa sepinya rumah mereka sekarang. Mereka sudah tak bisa lagi menanyakan apakah sewa kos sudah terbayar, apakah uang jajan cukup karena mereka tahu kau sudah bisa memenuhi kebutuhan itu sekarang.

Penderitaan mereka tak terhenti sampai di situ. Saat kau memutuskan untuk menikah, mereka bahagia bukan ampun, seorang yang dulunya kecil imut dan pembawa keceriaan kini bakal menjalin kasih dengan pujaan hatinya. Kau sudah benar benar dewasa sekarang, kau sudah siap menjalin bahtera rumah tangga. Tapi dibalik kebahagiaan itu, orang tuamu bersedih. Karena hadirmu bakal semakin jarang di rumah, kau sudah menjadi kebahagiaan orang lain sekarang. Kau bakal punya rumah sendiri yang harus kau bina. Mereka akan menangis terharu dan berbisik “Kita dulu memulai hidup ini berdua, lalu dia hadir dan sekarang pergi. Kurasa kita akan mengakhiri hidup ini berdua pula….”

Jika mungkin waktu bisa diiputar, mereka akan meminta Allah agar kau selamanya berada di rumah, agar mereka merasa dibutuhkan dan kau selalu membawa keceriaan bagi mereka. Tapi roda hidup harus berputar, sandiwara hidup harus terus berganti. Saat ini Ayahmu pasti sedang bahagia,, jangan sia siakan cinta kasih mereka sebelum terlambat 🙂

Only registered users can comment.

  1. Pertama kali mas nyuruh aku baca komen di note fb itu 19 April 2011, setahun yang lalu, dan sampai sekarang tiap baca ini selalu diakhiri dengan adegan cry a river.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.