NET TV bangkrut? Bubar? dan sejenisnya. Belakangan berita ini ramai menghiasi media berita nasional. Sejauh ini belum ada rilis resmi dari NET, namun management NET mengakui bahwa ada proses efisiensi yang sedang dilakukan dengan mengurangi jumlah karyawan secara sukarela demi perampingan organisasi. Penyebabnya jelas, kinerja keuangan meraka sedang tidak baik. Hal itu juga nampak ketika penyandang dana Indika Group resmi mundur atau pecah kongsi dengan pengelola NET yang kemudian ditandai dengan pergantian CEO mereka. Banyaknya prestasi mentereng yang diraih selama beberapa waktu terakhir ini ternyata tidak bebanding lurus dengan kondisi keuangan perusahaan. Lalu apa yang bisa kita lihat dan pelajari dari fenomena ini?
Segmantasi pasar yang “menarik”. Hal itu yang muncul dalam benak kita ketika awal NET muncul. Menawarkan teknologi terbaru dalam penyiaran dengan format HD ketika awal muncul dengan konten atau program-program yang menarik dan idealis gaya CEO mereka. Dengan perpaduan teknologi dan konten yang sangat mahal ini, sangat jelas bahwa meraka memiliki target pasar atau segmentasi khusus yaitu kaum menengah ke atas. Menilik target mereka sesungguhnya ini adalah sebuah pangsa pasar yang jelas dan bagus. Namun nampaknya ada yang terlewat dalam proses menggali segmentasi pasar ini. Mereka terlalu jumawa untuk mengakui bahwa dunia free to air adalah milik para pemirsa dari segmentasi lain yaitu mereka yang suka nonton “Tukang bubur naik haji”, “Cinta fitri”, atau “Tukang ojek pengkolan”. Mereka tetap berusaha bertarung di bisnis free to air untuk kaum menengah ke atas yang sejatinya sudah tidak lagi tertarik untuk menonton TV gratisan. Hal ini berdampak pada rating mereka yang tidak kunjung bagus. Rendahnya rating ini yang kemudian membuat pendapatan utama mereka dari iklan tidak kunjung membaik dan berdampak pada keuangan meraka yang jeblok.
Bermain dengan OTT. Alih-alih meninjau ulang target bisnis mereka NET malakukan hal yang cukup disruptive dengan bermain di dunia OTT (Over The Top). Mereka meluncurkan aplikasi untuk bisa menonton program mereka melalui gadget, melakukan kerjasama produsen smart TV dengan memasang embeded channel bahkan mereka melakukan menyiarkan streaming via YouTube. Sangat disruptive namun lagi-lagi itu belum mampu mendongkrak bisnis mereka karena semua itu tidak tercatat dalam sample lembaga survei yang mengelurkan rating TV di Indonesia. Selain itu pendapatan tambahan yang mereka dapatkan dari iklan via platform OTT ini tidak cukup nendang jika dibandingkan dengan ongkos produksi konten mereka. Mereka bersaing dengan para YouTuber yang hanya bermodal beberapa kamera dan asisten yang tentunya sangat jauh jika dibandingkan dengan produksi konten gaya TV yang butuh kamera-kamera besar, studio besar atau bahkan artis yang mahal. Belum lagi ditambah para artis indonesia yang rajin muncul di media sosial yang membuat para pemujanya tak lagi perlu menunggu atau menonton TV untuk melihatnya.
Apa yang terjadi dengan NET TV menjadi pelajaran bagi kita bagaimana pemahaman terhadap area bermain kita sangat penting. Kita perlu melihat dengan jeli bagiamana pasar yang kita masuki. Berasal dari mana dan bagimana aliran utama pendapatan bisa masuk dalam bisnis kita. Hal ini perlu kita dalami karena ternyata passion dan prestasi saja tidak cukup untuk untuk menaklukan industri. Terlebih lagi di industri ICT yang kini lebih banyak didominasi oleh OTT. Terakhir mari kita berdoĆ” bersama agar NET bisa melewati tantanganya ini dan bisnisnya segera membaik sehingga kita tidak perlu mendengar pemberitaan yang lebih buruk terhadap nasib NET TV.
Sumber gambar: Ole Telecom